13 Maret 2012

Perang Palembang 1819-1821 : Perang Maritim Terbesar Belanda Abad ke-19




Pendahuluan
Kesultanan Palembang adalah kerajaan bercorak maritim yang berkuasa di wilayah Sumatera selatan dengan pusat pemerintahan di kota Palembang pada awal abad ke-19. Raja pertama adalah Ki Gedeng Suro, seorang Jawa yang mengungsi ke Palembang akibat kemelut tahta di Demak. Kota Palembang sebagai pusat pemerintahan kesultanan, terletak agak ke pedalaman dari bibir pantai. Namun adanya aliran sungai Musi yang membelah kota itu menjadi bagian hulu dan hilir menyebabkan berkembangnya kebudayaan maritim sungai. Bahkan kapal-kapal besar pun bisa memasuki aliran sungai Musi dan berlayar lebih jauh ke daerah pedalaman. Tidak heran kota ini kemudian dijuluki sebagai “Venice from the East” oleh orang-orang Eropa. 

Latar Belakang Konflik dengan Pemerintah Kolonial 
Bangsa asing pertama yang terlibat konflik dengan kesultanan adalah Inggris, yang memegang mandat sementara atas koloni Belanda di Nusantara sampai perang melawan Napoleon di Eropa selesai. Sebuah peristiwa pembunuhan orang-orang Eropa di Palembang yang dikenal dengan “Palembang Massacre” membuat Raffles geram kepada pemimpin kesultanan saat itu, Sultan Mahmud Badaruddin II (1803-1821). Raffles kemudian memerintahkan Mayor Jendral Robert Gillispie untuk menghukum Palembang. Armada Gillispie akhirnya sampai ke Palembang dan menaklukkan kota Palembang pada 26 April 1812. 

Pertempuran Melawan Belanda 1819-1821 
Setelah takluk di tangan Inggris, wilayah kesultanan terbagi menjadi dua, wilayah pedalaman menjadi kekuasaan Badaruddin II sedangkan ibukota dikuasai oleh Sultan Ahmad Najmuddin II, sepupu Badaruddin II yang berkhianat. 

Keadaan mulai berubah ketika Konvensi London 1814 diresmikan. Inti dari konvensi ini menyatakan Inggris harus menyerahkan kembali koloni VOC yang dikuasainya kepada Kerajaan Belanda. Belanda kemudian merubah sistem-sistem VOC yang sudah rapuh. Kali ini wilayah koloni dipegang langsung oleh pemerintah kolonial yang bertindak sebagai wakil dari Kerajaan Belanda di tanah Hindia. 

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berkuasa di Nusantara, tetapi pemerintahan yang masih muda itu juga mewariskan kekacauan yang terjadi di Sumatra akibat ulah Raffles yang membagi Kesultanan Palembang. Karena itulah pada tahun 1818, kedua kesultanan dipersatukan kembali dengan Badaruddin II sebagai sultannya. Untuk mengetahui sejauh mana kesetiaan sultan kepada pemerintah kolonial, maka Belanda mengirimkan ekspedisi ke pedalaman di bawah pimpinan Muntinghe pada Mei 1819. Dalam ekspedisinya itu Muntinghe diserang oleh rakyat Palembang dan dia menyalahkan sultan atas perbuatan rakyatnya. Sebagai jaminan agar sultan tidak berbuat macam-macam, pemerintah kolonial meminta putra mahkota (Pangeran Ratu) untuk didatangkan ke Batavia. 

Pertempuran Pertama
Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh sultan. Hal ini ditanggapi Belanda dengan mengirimkan 200 orang tentara berikut dua kapal perangnya, Eendtagt dan Ajax, untuk menghukum Badaruddin II. Bentrokan terjadi pada 12 Juni 1819 ketika seorang ulama ditembak mati oleh tentara Belanda tanpa sebab yang jelas. Pertempuran hebat pun terjadi. Meriam-meriam dari Kuto Besak (pusat pertahanan Palembang) memborbardir kapal Eendtagt dan Ajax. Penyerbuan yang dilakukan oleh 200 prajurit Belanda ke dalam Kuto Besak mengalami kegagalan akibat kokohnya pertahanan benteng yang dijaga oleh rakyat Palembang. Karena tak bisa menembus tembok Kuto Besak (yang tebalnya 2 meter), Muntinghe pun mencoba untuk mundur. Peluru dari kapal Eendtagt dan Ajax sudah habis, belum lagi rakit-rakit api yang dikirimkan oleh sultan untuk membakar kapal-kapal itu telah menimbulkan kerusakan yang cukup parah bagi keduanya. Pada akhirnya pasukan Muntinghe pun mundur ke muara sungai Musi dan kembali ke Batavia pada 15 Juni 1819. 

Kemenangan ini disambut dengan sukacita oleh rakyat Palembang. Namun sultan tahu kalau Belanda akan kembali lagi dengan kekuatan yang lebih besar. Sultan beranggapan bahwa Belanda akan kembali melalui aliran sungai Musi karena kondisi daratan Palembang yang penuh rawa tidak cocok untuk dilalui oleh pasukan darat. Sultan kemudian menjalankan strategi perbentengan di antara Pulau Kembaro dan Plaju yang menjadi pintu masuk ke Kota Palembang. Sultan juga memerintahkan untuk membuat pancang-pancang kayu yang berfungsi menahan majunya kapal-kapal Belanda dari depan, sedangkan dari belakang armada itu nantinya akan diserang oleh rakit-rakit. Jika taktik ini berhasil maka armada Belanda akan terjebak di sekitar Pulau Kembaro dan Plaju dan benteng-benteng yang bermeriam akan menggempur armada yang terkurung itu. 

Pertempuran Kedua
Armada Belanda datang kembali ke Palembang pada tanggal 18 September 1819, diiringi dengan pelepasan yang sangat meriah pada saat mereka berangkat dari Batavia. Jumlah personil yang dikerahkan berjumlah 2000 personil dan puluhan kapal tempur yang dipimpin oleh Laksamana laut Wolterbeck. Perjalanan armada kedua ini tidak begitu mulus, karena begitu memasuki muara sungai Musi mereka sudah harus berhadapan dengan serangan gerilya pejuang-pejuang Palembang. Akibat dari semua hambatan itu, armada Wolterbeck membutuhkan waktu satu bulan untuk sampai ke mulut kota Palembang, sebuah waktu yang sangat lama dibandingkan dengan waktu normal yang hanya membutuhkan beberapa hari saja. 

Tetapi neraka sebenarnya bagi armada Wolterbeck ada di perairan Pulau Kembaro dan Plaju, karena Wolterbeck secara meyakinkan terjebak sesuai strategi Badaruddin II. Kapal-kapal itu tidak bisa maju lebih jauh lagi karena tertahan oleh pancang-pancang kayu yang ditanam di dalam sungai. Adu tembak-menembak meriam terjadi antara benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju dan kapal-kapal tempur Belanda. Karena semakin terdesak, maka Wolterbeck memutuskan untuk mundur ke Bangka. Armada yang sudah hancur itu mati-matian melepaskan diri dari kurungan yang disiapkan oleh sultan. 2 kapal Belanda, yakni Arimus Marinus dan Eendragt kandas dan tenggelam akibat serangan rakit-rakit api yang tak terhingga jumlahnya ketika mencoba kabur. Babak kedua perang maritim ini akhirnya kembali dimenangkan oleh Kesultanan Palembang. 

Kekalahan tersebut membuat geram petinggi-petinggi di Batavia dan akhirnya Wolterbeck diturunkan dari jabatan panglima perang di Palembang. Kali ini Belanda mempersiapkan secara besar-besaran keperluan perangnya di Palembang. Persiapan dilakukan selama 3 tahun, dari tahun 1819 sampai 1821. Untuk memperkuat armada tempurnya, Belanda memesan kapal-kapal langsung dari Amsterdam. Beberapa dari kapal itu adalah kapal khusus yang digunakan untuk mencabut pancang-pancang kayu. Selain itu, Belanda juga mendatangkan pasukan Eropa yang merupakan veteran pada masa perang Napoleon. Untuk pemimpin armada kali ini adalah Mayor Jendral de Kock. Kekuatan Belanda saat itu ditaksir mencapai 10 kali lipat lebih besar dari serangan keduanya, dengan jumlah personil sebanyak 7000 orang dan kapal tempur berjumlah 47 buah. Armada besar itu akhirnya berangkat ke Palembang pada 9 Mei 1821 dari Batavia. 

Di kubu kesultanan sendiri tak ada pergolakan yang berarti. Badaruddin II akhirnya melepaskan jabatan sultan dan mewarisinya kepada Pangeran Ratu. Meski begitu komando perang masih tetap dipimpin oleh Badaruddin II. Benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju diperkuat kembali dengan meriam-meriam yang dibeli oleh Badaruddin II dari seorang Eropa. Jumlah rakyat yang siap mengangkat senjata bagi kesultanan sendiri ada sekitar 7000 sampai 8000 orang. 

Pertempuran Ketiga
Armada de Kock akhirnya tiba di muara sungai Musi pada 22 Mei 1821. Hambatan-hambatan yang ditemui oleh Wolterbeck saat serangan kedua bisa ditangani dengan baik oleh de Kock. Pos-pos meriam tersembunyi di pesisir sungai Musi bisa diketahui dan dihancurkan karena dia telah mendapatkan peta strategi Badaruddin II dari seorang ulama yang berkhianat. Satu-satunya hambatan yang berarti bagi armada itu hanyalah penyakit. Banyak serdadu-serdadu Eropa yang belum bisa beradaptasi dengan cuaca tropis dan akhirnya 100 personil tewas akibat wabah penyakit tropis. Pada 16 Juni 1821, armada itu sampai ke mulut Pulau Kembaro dan Plaju. Usahanya untuk melumpuhkan benteng Tambakbaya, salah satu posisi vital pasukan Palembang, berakhir dengan kegagalan. Akibatnya de Kock terpaksa berlayar menerobos jebakan di sekitar Pulau Kembaro dan Plaju itu. Pertempuran sengit terjadi kembali. Di saat kapal-kapal itu berupaya menerobos pancang kayu, tembakan meriam dan rakit-rakit api memporak-porandakan formasi armada de Kock. Banyak kapal de Kock yang kehilangan tiang layarnya dan menjadi sasaran empuk meriam benteng pasukan Palembang. Kekacauan itu akhirnya membuat armada tersebut kepayahan dan memutuskan untuk mundur. Jumlah korban tewas di pihak Belanda ada sekitar 101 orang, sedangkan di pihak Palembang tak diketahui. 

Karena tidak ingin menderita kerugian yang lebih besar lagi, maka de Kock meminta gencatan senjata kepada Badaruddin II. Dia berjanji tidak akan menyerang benteng-benteng Palembang pada hari Jumat. Sebagai gantinya Badaruddin II sendiri harus berjanji untuk tidak menyerang pada hari Minggu. Hal ini dilakukan untuk menghormati hari suci agama masing-masing. Badaruddin II sendiri mengiyakan karena dia juga ingin memberi kesempatan beristirahat bagi pasukannya yang sedang berpuasa (saat itu sedang bulan Ramadhan). 

Tapi perjanjian itu hanya bertahan beberapa hari, karena meskipun pada hari Jumat tidak terjadi kontak senjata, secara mendadak pasukan Belanda menggempur benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju pada saat subuh. Perang jarak dekat terjadi, senapan-senapan Belanda melawan tombak dan sangkur pasukan Palembang. Karena diserang mendadak, maka pertahanan di Pulau Kembaro dan Plaju jatuh. Armada de Kock pun berlayar ke pusat kota Palembang dan bermaksud menghancurkan benteng Kuto Besak. Namun tembok setebal 2 meter dan barisan meriam yang kokoh membuat armada yang sudah porak-poranda itu semakin frustasi. Akhirnya de Kock mengeluarkan siasat licik lainnya. Dia menunjukkan Sultan Najamuddin IV (kerabat Badaruddin II yang diangkat menjadi sultan secara sepihak oleh Belanda) di salah satu kapal perangnya. Badaruddin II kemudian memutuskan untuk menghentikan serangannya karena tidak ingin membunuh kerabatnya sendiri hanya demi kepuasan untuk mengalahkan de Kock. Akhirnya, benteng Kuto Besak jatuh dan Badaruddin II beserta panglima-panglima perangnya ditangkap oleh Belanda. Maka berakhirlah pertempuran ketiga dan terakhir antara Kesultanan Palembang melawan Pemerintah Kolonial. Gelar sultan akhirnya diserahkan pada Najamuddin IV dari Pangeran Ratu pada 29 Juni 1821. 

Badaruddin II dan keluarganya pun akhirnya diasingkan oleh Belanda ke Ternate pada 3 Juli 1821. Ternyata, Najamuddin IV tidak sanggup memerintah kesultanan karena rakyat Palembang tidak mendukungnya. Akibatnya Belanda turun tangan dan akhirnya menghapuskan sistem kesultanan dan menggantinya dengan keresidenan Palembang pada tanggal 7 Oktober 1823. Dengan itu, maka berakhirlah perlawanan Kesultanan Palembang terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. 

Pertempuran maritim yang dilakukan Pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap Kesultanan Palembang merupakan yang terbesar dan termahal bagi angkatan laut Kerajaan Belanda di Nusantara saat itu. Selain itu, setelah kesultanan jatuh tetap saja rakyat Palembang tetap mengadakan perlawanan. Kemenangan pasukan Belanda atas Palembang membuka akses bagi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk menaklukkan Sumatra yang saat itu masih merdeka dan kental dengan pengaruh Inggris. Akibatnya, Belanda terlibat kembali dalam konflik berkepanjangan dengan penguasa di Sumatra, seperti di Minangkabau dan Aceh. Hal ini juga memuluskan Belanda untuk menegakkan pemerintahan kolonialnya di wilayah Sumatra dan Nusantara pada umumnya.

Bacaan Lebih Lanjut :
- Abdullah, Ma’moen, et al. 1991. Sejarah Daerah Sumatera Selatan. Palembang: IDSN. 
- Alimansyur, M., et al. 1982. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah  Sumatra Selatan. Palembang: IDSN. 
- Hanafiah, Djohan. 1989. Kuto Besak: Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan. Jakarta: Haji Masagung. 
- Jones, Russell. 1977. “Het Sultanaat Palembang 1811-1825,” Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 40, No. 1. London : Cambridge University Press. (10/12/2010 07:59) 
- Andaya, Barbara Watson. 1994. “Book Reviews : Kuto Besak, Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan,” Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 25 No. 1. London : Cambridge University Press. (10/12/2010 08:07)






Rahadian Rundjan, Ilmu Sejarah 2009
Kepala Departemen IT & Media di Studi Klub Sejarah UI
Twitter : @RahadianRundjan


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates